Astaga, merek saya diambil orang!!

Artikel mengenai HKI ini saya temukan beberapa tahun yang lalu. Artikel ini sangat menarik karena berbicara tentang kemungkinan merek dagang/jasa kita bisa saja direbut oleh orang lain, lho.. Kurangnya pengetahuan akan dunia Hak Kekayaan Intelektual ini menjadikan hal ini banyak terjadi. lalu bagaimana mencegahnya? Baca saja artikelnya lebih lanjut, yaa..

Oh ya, artikel ini bukan tulisan saya, saya menyadurnya setelah meminta ijin dari penulis aslinya yaitu mas Yusran Isnaini

Selamat membaca...
bing.com
Tentu saja Anda panik ketika mengetahui merek yang selama ini Anda gunakan dalam usaha/bisnis ternyata dipakai oleh orang lain, rasa kesal dan gundah mulai memenuhi hati dan mengganggu pikiran. Selama ini Anda menggunakan merek untuk keperluan bisnis agar barang/produk yang Anda hasilkan dapat dikenal dan dibeli oleh masyarakat. Tidak pernah terbayang sebelumnya jika tulisan dan gambar yang ditempelkan tersebut ternyata harus didaftarkan. Akhirnya pertanyaan samar-samar mulai timbul di otak anda, apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan merek?

Menurut peraturan perundangan tentang Merek yang terdapat dalam Pasal 1 (1) UU No. 15 Tahun 2001, merek didefinisikan sebagai tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Dari pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa merek pada intinya terdiri dari tiga unsur, yakni tanda (gambar, kata, angka dll maupun kombinasinya), memiliki daya pembeda dan digunakan dalam dunia perdagangan.

Kepemilikan atas merek diperoleh melalui pendaftaran (pada Dirjen HKI) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 Undang-Undang tentang Merek (UUM), bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Berdasarkan ketentuan ini, maka prinsip pendaftaran merek yang dianut oleh Indonesia adalah prinsip pendaftaran pertama (first file), yaitu pihak yang melakukan pendaftaran pertama kali akan dianggap sebagai pemilik merek.

Ketentuan ini pada prinsipnya ditujukan sebagai upaya perlindungan hukum bagi pemilik merek, namun disisi lain juga memiliki kelemahan karena menimbulkan celah bagi orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendaftarkan merek milik orang lain yang belum terdaftar namun produknya telah lama dikenal oleh masyarakat, pemilik merek ini disebut juga dengan istilah pengguna pertama (first use). Kemungkinan lain adalah mendaftarkan suatu merek asing yang belum terdaftar di kantor HKI dimana diketahuinya produk asing tersebut telah beredar luas dan memiliki pangsa pasar di dalam negeri. Praktek-praktek curang seperti ini tentu tidak dibenarkan karena jelas menunjukkan adanya sikap unfair dalam berbisnis. Dalam undang-undang merek sendiri disebutkan tegas bahwa merek tidak dapat didaftarkan atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik.

Lalu apa langkah dan upaya hukum yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi permasalahan di atas. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai pemilik merek atau sebagai pihak penerima lisensi merek asing (merek sudah terdaftar di luar negeri namun belum didaftarkan di Indonesia) dalam mengatasi permasalahan tersebut:

1. Mengajukan Keberatan Terhadap Permohonan Yang Diajukan Dalam Berita Resmi Merek.
Menurut prosedur yag diatur dalam undang-undang, sebelum dikeluarkannya sertifikat merek, Direktorat Jenderal HKI (Dirjen HKI) mengumumkan permohonan pendaftaran merek selama 3 (tiga) bulan dalam Berita Resmi Merek yang diterbitkan secara berkala oleh Dirjen HKI. Selama jangka waktu pengumuman tersebut, setiap pihak dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada Dirjen HKI. Keberatan yang diajukan tentunya harus berdasarkan alasan yang jelas disertai dengan cukup bukti bahwa merek yang dimohonkan pendaftarannya sesungguhnya tidak dapat didaftarkan atau harus ditolak berdasarkan ketentuan perudang-undangan. (Lihat Pasal 21 s/d. 24 UUM).

2. Mengajukan Gugatan Pembatalan ke Pengadilan Niaga
Pemilik merek asli dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga (Pengadilan Niaga Jakarta bila salah satu pihak berdomisili di luar negeri). Gugatan yang diajukan dapat berupa gugatan penghapusan merek atau gugatan pembatalan merek.

Gugatan penghapusan merek diajukan apabila merek tidak digunakan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan atau jasa yang terhitung sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir. Alasan penghapusan merek juga dapat didasarkan pada fakta bahwa merek tersebut digunakan untuk jenis barang dan atau jasa yang tidak sesuai dengan jenis barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya, termasuk dalam hal ini adalah pemakaian merek yang tidak sesuai dengan merek yang didaftar. (lihat Pasal 63 Jo. Pasal 61 ayat (2) huruf a dan b).

Berbeda dengan dasar gugatan penghapusan, dalam gugatan pembatalan merek pemilik asli harus mempunyai dalil-dalil yang kuat dalam gugatannya menyangkut hal-hal seperti, Tergugat tidak memiliki itikad baik dalam pengajuan permohonan pendaftaran; mempunyai persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhan dengan merek pihak lain yang telah terdaftar lebih dahulu; dan mempunyai persamaan pada pokoknya atau secara keseluruhan dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan atau jasa sejenis.
bing.com
Beberapa hal yang perlu diingat sehubungan dengan diajukannya gugatan pembatalan ini. Pertama, pemilik merek yang tidak terdaftar mengajukan permohonan kepada Dirjen HKI sebelum mengajukan gugatan pembatalan. Kedua, adanya batasan waktu dalam mengajukan gugatan yakni selama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pendaftaran merek. Khusus menyangkut batasan waktu terdapat pengecualian, yaitu ketentuan ini tidak berlaku jika gugatan yang diajukan didasarkan pada alasan telah terjadi pelanggaran terhadap nilai-nilai moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum (lihat Pasal 68 ayat (2) Jo. Pasal 69).

Apabila salah satu pihak tidak puas atas putusan hakim, maka menurut UUM terhadap putusan hakim tersebut hanya dapat diajukan kasasi. Hal ini tentu berbeda dengan perkara perdata biasa dimana pihak-pihak yang merasa tidak puas biasanya akan menempuh upaya hukum banding terlebih dahulu baru kemudian mengajukan kasasi.

Demikian beberapa upaya yang dapat Anda lakukan. Tentu sekali lagi hal ini bukan merupakan pendapat hukum, namun hanya sekadar sumbangan pemikiran semata guna membantu Anda untuk lebih memahami tentang merek.


share

0 comments