Say NO to Bullying
“Dasar penghianat. Elu ngancem gue? Elu
duluan yang mati!.” Wakss!!, saya tercekat membaca pesan di inbox facebook
anak perempuan saya yang baru berusia delapan tahun. Pesan itu pun berasal dari teman dekatnya
yang sering sekali main ke rumah kami. Saya baca lagi dengan teliti
perbincangan di inbox tersebut antara Caca dan temannya yang berusia beberapa
tahun lebih tua itu, sebut saja si x.
Terlihat bahwa mereka sedang marahan
karena si x melarang Caca berteman dengan anak-anak lain karena menurutnya, anak-anak
lain itu kampungan, ngga keren, dll. OMG!.
Akhirnya saya menemukan jawabannya mengapa sebulan terakhir ini Caca yang
biasanya sangat ceria menjadi pemurung dan enggan keluar rumah.
Caca lebih memilih menghabiskan waktunya didpn tab drpd bermain di luar |
Cerita
di atas hanya sebagian dari beberapa kisah yang dialami Caca soal bullying, beberapa kali lewat fb dan
seringkali lewat pertemuan langsung karena anak tersebut kebetulan tinggal di
dekat rumah kami. Anak tersebut mempengaruhi teman-teman sekomplek untuk tidak
berteman dengan Caca, alhasil, Caca nggak punya teman bahkan beberapa anak yang
dulu adalah temannya ikut-ikutan mem-bully
dia, sebagian karena ajakan dan karena takut terhadap anak yang lebih tua itu.
Aduhhh..sedihh banget lihatnya. Meski pun naluri keibuan saya rasanya ingin melabrak anak-anak itu, tapi saya tahu hal itu nggak cool dan ngga akan menyelesaikan masalah Caca. Menurut saya, anak yang di-bully dan anak yang nge-bully sama-sama punya masalah dan perlu bantuan.
Aduhhh..sedihh banget lihatnya. Meski pun naluri keibuan saya rasanya ingin melabrak anak-anak itu, tapi saya tahu hal itu nggak cool dan ngga akan menyelesaikan masalah Caca. Menurut saya, anak yang di-bully dan anak yang nge-bully sama-sama punya masalah dan perlu bantuan.
Cara
saya dan suami membantu Caca adalah dengan mendukung dia, ngga hanya berupa
pujian dan nasehat-nasehat yang mengatakan bahwa dia sangat berharga dan tidak
boleh terpengaruh oleh ucapan-ucapan orang lain yang menjatuhkan, tapi kami
juga membantunya dengan sedikit ikut campur dalam kehidupan pertemanannya.
Mungkin ada yang kurang setuju dengan hal ini, tapi bagi saya, memang orangtua
lah yang seharusnya membantu dan ikut campur, karena pada umur mereka, mereka
belum cukup kuat secara mental untuk menghadapi masalah-masalah seperti ini. Saat
libur atau weekend, saya menyuruh
Caca mengundang beberapa teman untuk main di rumah kami. Saya menyediakan
beberapa aktivitas yang menyenangkan buat mereka, dari mulai membuat handycrafts, nonton dvd sambil ngemil,
bahkan berenang bareng di kolam renang dekat rumah, dll, dll.
Intinya, saya
ingin mengingatkan teman-temannya bahwa Caca adalah anak yang asik diajak
berteman dan ngga ada untungnya kalau mereka mengganggu Caca. Pelan-pelan usaha
saya membuahkan hasil, beberapa teman kembali berteman dengan Caca meski pun
akhirnya mereka jadi ikut dimusuhi oleh si x. Karena sebal Caca kembali punya teman, si x
kembali menulis hal yang kasar di wall
fb dan inbox Caca. Saya pun ambil
tindakan, saya menulis : Dear xxx sayang.
Maaf ya, tante bisa baca wall dan inbox Caca karena semua notifikasi masuk ke
email tante. Kalau tidak mau berteman tidak apa-apa, tapi tolong ya, berhenti menulis
hal-hal yang kasar di fb Caca. Terimakasih. Salam, tante Zata.
Seorang
teman menyayangkan sikap saya waktu saya membalas pesan di inbox Caca tersebut. Menurut dia, saya
terlalu ikut campur dan dia juga khawatir bahwa Caca akan menuai perlakuan yang
lebih buruk lagi karena sudah ngadu-ngadu ke ibunya. Saya pikir, setiap orang
punya solusi masalahnya masing-masing, dan saya memilih yang ini, karena semua
notifikasi itu masuk ke email saya (saya sengaja melakukannya karena saat Caca
memohon untuk diijinkan punya fb, saya mengijinkan, namun harus menggunakan
alamat email saya), saya merasa punya hak untuk menegur jika memang hal
tersebut salah.
Saya pun menjelaskan kepada teman saya bahwa saya punya aturan sendiri untuk anak-anak saya, di mana saat mereka masih kecil, emosi masih labil dan belum bisa mengambil keputusan sendiri, saya berhak menolong mereka dengan cara yang menurut saya wajar. Kalau bukan saya yang menolongnya, siapa lagi?. Saya tidak ingin menunggu sampai rasa percaya dirinya hancur, menunggu sampai ia merasa tidak memiliki siapa-siapa, dst.
Saya pun menjelaskan kepada teman saya bahwa saya punya aturan sendiri untuk anak-anak saya, di mana saat mereka masih kecil, emosi masih labil dan belum bisa mengambil keputusan sendiri, saya berhak menolong mereka dengan cara yang menurut saya wajar. Kalau bukan saya yang menolongnya, siapa lagi?. Saya tidak ingin menunggu sampai rasa percaya dirinya hancur, menunggu sampai ia merasa tidak memiliki siapa-siapa, dst.
Mom and kid against bullying |
Setelah
beberapa bulan berlalu, saya melihat bahwa kehidupan Caca jauh lebih ceria
daripada saat masih berteman dekat dengan si x. Dia tetap tidak bisa berbaikan dengan
si x, tapi si x juga sudah tidak terlalu ‘menyerang’ Caca. Caca lebih menikmati
hari-harinya dengan teman-temannya yang se-tipe dengan dia, yang kurang suka
genk-genk-an dan iri-iri-an. Dia juga punya lebih banyak kegiatan yang positif
di luar sekolah, salah satunya dengan ikut latihan Taekwondo. Saya berharap,
saat umur dia bertambah, dia sudah punya bekal untuk menghadapi hal-hal seperti
ini sendiri. Karena di usia yang lebih besar, bukan berarti terbebas dari bully. It happened to adults, too. Saya adalah salah satu contoh nyatanya.
Beberapa tahun lalu, saya dijauhi oleh sekelompok orang di kantor dan mirisnya,
beberapa dari orang itu adalah teman saya sebelumnya. Alasan awalnya sangat
kekanakan: karena saya dekat dengan bos besar di kantor. Hellow??, Saya adalah
mantan guru bahasa Indonesianya dan saat saya sekantor dengannya, saya harus
pura-pura ngga kenal, gitu?. Biar bagaimana pun saya dekat dengan bos saya itu,
meski pun saya sudah membedakan bahwa sekarang saya adalah anak buahnya di
kantor, tapi obrolan-obrolan seperti bagaimana kabar keluarganya, dll, dll,
yang sehari-hari masih tetap saya lakukan.
Itu adalah alasan awal mereka
membenci saya, lalu berkembang menjadi apa pun yang saya lakukan terlihat
menyebalkan buat mereka. Karena pengaruh satu orang yang lebih senior (bukan
secara jabatan, tapi secara umur dan lama bekerja), satu per satu teman
meninggalkan saya. Sampai ada masa di mana saya ‘takut’ untuk makan di pantry
atau pergi ke toilet karena enggan bertemu mereka (kayak cerita film mean girls ngga sih, hehehe..). Singkat
cerita, saya bisa berkata dengan bangga bahwa saya berhasil melewatinya, bahkan
hikmah dibalik itu, saya mendapatkan lebih banyak teman yang sejati, yang fun banget dan tidak menghabiskan
waktunya untuk selalu bergosip tentang kejelekan dan kesuksesan orang lain di
kantor. Saya juga terpicu untuk menjadi orang yang lebih baik dan lebih
berprestasi dalam bidang-bidang yang saya geluti. Kutipan dari Agnes Monica di
bawah ini cukup memotivasi saya:
“When haters were busy talkin’ I was busy
making it happen. When they were busy mocking I was busy walking. When they
were busy laughing I was busy running. And they’re STILL wondering why they’re
left behind… With lots of love, me“ -Agnes Monica-
Pengalaman
di atas menjadi alasan saya untuk menulis tentang topik bullying ini. Saya selalu concern
dengan hal ini karena bullying
seringkali terjadi di mana-mana dan tidak hanya dialami oleh anak atau remaja
saja, bahkan orang dewasa pun sering mengalami dan melakukan bullying.
Menurut
beberapa literatur yang saya baca, bullying
adalah perilaku agresif yang tidak diinginkan yang melibatkan kekuatan fisik
dan non-fisik yang tidak seimbang, biasanya terjadi di kalangan anak usia
sekolah dan perilaku itu sering berulang atau berpotensi berulang. Namun,
seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, bullying
tidak kenal usia, namun memang lebih sering terlihat terjadi pada anak dan
remaja.
Beberapa
orang menganggap bullying hanya pada
tindakan fisik seperti memukul, mendorong, dan sebagainya, padahal mengancam,
menyebar gosip, mengata-ngatai, bahkan tidak menemani seseorang dengan tujuan
tertentu pun termasuk dalam tindakan bullying.
google image |
Menurut
stopbullying.gov, ada tiga tipe bullying:
- Verbal bullying – adalah mengucapkan atau menulis sesuatu yang menyakitkan, misalnya mengejek, komentar yang berbau seksual, mengancam, dan mengejek nama. Yang terakhir ini sering ditemui pada anak usia sekolah dasar. Saya ingat ada salah satu teman saya yang nama bapaknya menjadi olok-olokan beberapa teman sekelas. Saat itu saya kasihan padanya namun saya tidak menganggap hal itu sebagai hal yang serius, padahal kalau diingat-ingat, anak itu sangat marah dan sedih setiap kali beberapa teman laki-laki memanggil-manggil dirinya dengan nama bapaknya. Ahh..saya ternyata juga menjadi bagian pasif dari bullying itu *sedih*.
- Social bullying – ini yang paling sering saya lihat dan alami. Bentuk social bullying antara lain nyuekin seseorang dengan sengaja, misalnya dalam sebuah kelompok, ada satu orang yang sengaja dicuekin dan tidak diajak ngobrol. Tujuannya agar orang tersebut malu, merasa tidak berharga, dan seterusnya. Contoh lain adalah menghasut teman lain untuk tidak menemani seseorang, menyebarkan gosip tentang seseorang, dan mempermalukan seseorang di depan umum.
- Physical bullying adalah menyakiti fisik seseorang dan atau merusak barang milik seseorang. Misalnya menendang, memukul, mencubit, mendorong, meludah, membuat gestur yang kasar, sampai merusak atau memecahkan barang milik seseorang.
google image |
Semoga sharing ini
bermanfaat, agar kita semua menjadi lebih concern
lagi tentang masalah ini dan melindungi diri kita dan anak-anak kita agar tidak
menjadi korban mau pun pelaku bullying. Moms and Kids Against Bullying!.
0 comments
Komentar baru tidak diizinkan.