Perjalanan saya sebagai mualaf, proses belajar yang tak akan pernah berhenti ...

Mumpung sedang suasana Ramadhan, saya ingin berbagi sedikit cerita mengenai perjalanan saya sebagai seorang mualaf. Namun saya ingin memberi tahu sebelumnya bahwa di sini pembaca tidak akan menemukan kisah inspiratif yang mungkin diharapkan, karena isi artikel ini murni hanya coretan kecil saya tentang pengalaman serta perasaan saya sebagai mualaf. Isi tulisan ini pun sama sekali bukan penghakiman atas individu atau agama tertentu. Dan mohon untuk tidak menghakimi :)


Ramadhan kali ini saya justru sedang sedih dan menyesal karena saat saya menengok ke belakang, ternyata sudah cukup lama saya menjadi seorang mualaf namun saya merasa tidak banyak berkembang dan belajar. Saya sudah menyia-nyiakan lebih dari 15 tahun hidup saya sebagai pemeluk Islam tanpa belajar lebih banyak tentang agama tersebut, padahal saya sudah diberi kesempatan untuk mengenal dan memeluk agama ini, saya sudah mendapatkan begitu banyak dukungan dari kerabat dan teman-teman, bahkan orang-orang yang tidak saya kenal, yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. 

Sekilas tentang perjalanan saya sampai akhirnya memeluk Islam. Sebenarnya mama saya sudah memeluk Islam sejak beliau kecil, namun karena bersekolah di sekolah Katolik di Sulawesi Utara serta minimnya ajaran agama dari kedua orangtuanya, dengan berjalannya waktu, ibu saya menjalankan aktivitasnya sesuai dengan agama di sekolahnya. Saat beliau menikah dengan papa saya yang beragama Protestan dan melahirkan kami anak-anaknya, mereka masih menjalankan agamanya masing-masing dan kami bebas memilih mau memeluk agama yang mana, Katolik atau Protestan. Sudah bisa ditebak, biasanya anak-anak akan lebih memilih agama ibu, saya pun rajin pergi ke gereja Katolik sampai saya duduk di Sekolah Menengah Pertama. 

Sejak saya SD, mama saya sudah mulai berpikir untuk kembali ke agama Islam, apalagi dua orang paman saya sudah lebih dulu kembali dan taat menjalankan agama Islam. Saat itu, mama sudah mulai belajar sholat lagi, dll, namun saya yang masih duduk di sekolah dasar justru sedikit takut untuk masuk Islam padahal saya bersekolah di sekolah umum di mana pelajaran agama Islam diajarkan. Saya pun diminta oleh mama saya untuk mengikutinya padahal di sisi lain saya pun mengikuti pelajaran agama di Sekolah Minggu.

Anda tahu apa yang membuat saya takut memeluk Islam saat itu? karena guru agama Islam di sekolah dasar saya mengatakan bahwa semua orang yang non-muslim akan masuk neraka. hanya orang Islam yang akan masuk ke surga. Jiwa kecil saya berontak. Itu tidak benar, saya tidak rela jika saya yang saat itu non-muslim masuk neraka karena saya merasa saya bukan orang jahat, saya pun tidak rela jika ada penjahat yang kebetulan memeluk Islam akan masuk ke surga.

Saya tidak menyampaikan kekhawatiran dan kebingungan saya kepada orang tua saya saat itu, padahal setelah saya makin besar saya justru menyadari bahwa saya seharusnya bilang pada mereka agar mereka bisa meluruskan hal tersebut, mengenai persepsi saya yang salah dan penyampaian guru agama yang tidak utuh.

Waktu berjalan dan saat saya SMP, saya mulai melihat kesungguhan mama saya dalam menjalankan Islam, papa saya pun akhirnya memeluk Islam, begitu juga dua orang kakak laki-laki saya. Saya pun mulai ingin tahu, begitu juga adik perempuan saya. Masih banyak pertanyaan di benak saya dan ketakutan-ketakutan saya akan ajaran Islam yang membuat saya masih bertahan untuk tidak mengikuti jejak keluarga yang lain.

Saat hendak masuk SMA saya makin kritis, saya berusaha mencari jawaban akan kekurangyakinan saya terhadap ajaran-ajaran Islam, salah satunya soal poligami. Jiwa remaja saya tak pernah bisa menerima alasan mengapa suatu agama yang katanya sangat melindungi perempuan justru membiarkan perempuan dimadu. Hingga suatu ketika saya mendengarkan penjelasan mengenai poligami secara terperinci, alasannya, kapan itu dibolehkan, dan seterusnya. Penilaian saya pun berubah. Poligami bukan sesuatu yang mudah yang bisa dilakukan oleh manusia pada umumnya, jadi yang selama ini saya lihat kebanyakan adalah bentuk yang salah dari poligami, di mana beberapa orang memanfaatkannya untuk pembenaran pribadi.

Tak lama kemudian saya memutuskan untuk masuk Islam. Saya pun menyiapkan beberapa essentials yang diperlukan seperti buku tuntunan shalat, buku pelajaran Iqro, Al-Quran, mukena, dan lain sebagainya. Saya sangat bersemangat mempersiapkan semuanya, kecuali .... diri saya. Yup, saat itu, di umur yang masih terbilang sangat muda, saya ternyata masih sangat mudah menilai orang bukan dari orang itu sebagai individu namun menilainya dari agamanya. Kesalahan yang kemudian saya sadari dan berusaha saya perbaiki. Saat itu saya sempat 'goyang' karena beberapa orang di sekitar saya yang agamanya sama dengan saya, justru memperlihatkan perilaku yang tidak sesuai dengan agamanya dan saya sempat tanpa sadar mengkaitkan perilaku tersebut dengan agama yang mereka anut. Misalnya saat seseorang yang berjilbab namun pacaran dengan cukup vulgar di tempat umum, dst, dst. Untung saja saya punya banyak teman, sahabat, kenalan, yang begitu bijaksana dan mengingatkan saya bahwa kesalahan bukan terletak pada jilbab apalagi agamanya, namun pada individu tersebut.

gbr dari sini
Masih banyak sekali pengalaman dan cerita yang ingin saya bagi, tentang bagaimana saya tumbuh di keluarga yang memeluk beragam agama namun pada akhirnya kami tetap saling menghormati satu sama lain, mengenai bagaimana on off saya belajar mengenai agama yang saya peluk, segala rintangan dan bantuan yang saya terima, dst. Tapi di artikel selanjutnya saja, ya, intinya saat ini saya masih ingin belajar dan akan terus belajar...

***

1 comments