Bebas dari Rasa Khawatir dan Nggak Ada Yang Terbuang Percuma Bersama FWD Critical Armor

Adit Trivedi (Wakil Direktur Utama FWD Life); Maika Randini (Chief Marketing Officer); Ade Bungsu (Direktur, Chief of Proposition & Syariah); Adi Chandra (Chief Agency Officer)

Sebulan terakhir ini saya mengalami beberapa hal yang cukup berat berkaitan dengan penyakit kritis. Suami teman saya tiba-tiba saja meninggal karena stroke. Usianya seumuran dengan saya, kelihatannya juga sehat-sehat saja. Tak lama, berita lain datang, dari teman SMA yang tinggal di luar kota, meninggal meninggalkan dua anaknya yang masih kecil.

Yang terbaru dan terberat adalah berita tentang om saya di Manado yang buta karena diabetes. Ya, saya dikelilingi oleh keluarga yang menderita diabetes. Om-om saya, tante-tante saya, termasuk ibu saya yang saat ini harus sangat hati-hati menjaga makanannya akibat diabetes.

Saya juga punya risiko besar menderita diabetes karena faktor genetik, oleh karena itu sudah beberapa tahun terakhir saya berusaha menjalani hidup sehat untuk memperkecil risiko tersebut. Namun saya sadar, risiko tetap ada oleh karena itu, saat saya menerima undangan dari FWD Life mengenai peluncuran FWD Critical Armor, saya sangat bersemangat.

Pada tanggal 29 Januari 2020 lalu, FWD Life meluncurkan produk terbarunya yaitu FWD Critical Armor, sebuah produk asuransi untuk perlindungan terhadap penyakit kritis  yang memberikan solusi komprehensif untuk membantu nasabah fokus pada penyembuhan penyakit kritis dan mengurangi rasa khawatir terhadap masalah keuangan.

Tak hanya membuat kita sebagai nasabah bebas rasa khawatir soal biaya perawatan, FWD Critical Armor ternyata memungkinkan nasabah untuk mengklaim sampai tiga kali dari limapuluh jenis penyakit kritis major dan satu kali dari limabelas penyakit kritis minor.

Bpk Ade Bungsu sedang menjelaskan tentang manfaat klaim FWD Critical Armor ini.

Belum cukup sampai di situ, produk ini juga dilengkapi dengan manfaat pembebasan premi, manfaat meninggal dunia, dan pengembalian premi dengan total manfaat hingga 420% dari uang pertanggungan.

Dalam kesempatan tersebut, Wakil Direktur Utama FWD Life, bapak Adit Trivedi mengatakan bahwa didiagnosis dengan penyakit kritis adalah hal yang tak terduga dan tidak diharapkan oleh semua orang. Saat menerima diagnosa tersebut pastinya bukan hanya fisik dan mental diri yang terpengaruh tapi juga keluarga dan sahabat kita.

Yang paling sering ditemui juga adalah stabilitas ekonomi yang terganggu. Pak Adit menambahkan bahwa meskipun FWD tidak membantu menyembuhkan penyakit kritis namun yang bisa FWD Critical Armor lakukan adalah membantu nasabah serta keluarga agar dapat tetap optimi8s dan positif dalam menjalani pengobatan hingga sembuh.

Yes, saya setuju banget dengan penjelasan pak Adit, karena jujur saja, saya banyak mengenal beberapa keluarga berada, yang salah satu anggota keluarganya terkena penyakit kritis. Salah satu hal yang paling dikhawatirkan oleh mereka adalah soal keuangan. Ada yang menjual rumah, mobil, dan aset lainnya, hingga proses penyembuhan pun terganggu karena rasa khawatir yang akhirnya menciptakan masalah baru seperti hutang dan rasa putus asa.

Bapak Ade Bungsu, Direktur, Chief of Proposition and Syariah, menjelaskan soal manfaat klaim  FWD Critical Armor ini, yaitu :

  • Melindungi dari 50 jenis penyakit major yang dapat diklaim hingga 3 kali dan 15 jenis penyakit minor yang dapat diklaim satu kali. 
  • Perlindungannya juga hingga usia 80 tahun. 
  • Premi tidak berubah sepanjang periode pembayaran premi.
  • Masa dan metode pembayaran premi dapat disesuaikan berdasarkan kebutuhan nasabah.
  • Manfaat meninggal dunia.
  • Setiap manfaat yang dibayarkan tidak akan mengurangi nilai dari manfaat lainnya.
  • Pengembalian premi jika tidak ada klaim penyakit kritis major hingga akhir masa perlindungan.
  • Dibebaskan dari pembayaran premi lanjutan.

Ngobrol bareng Shahnaz, mas Mada, dan dr Jeffry bener2 membuka mata banget deh soal pentingnya perlindungan diri dalam segala hal.

Dalam kesempatan yang sama, usai makan siang, kami para blogger diundang untuk ngobrol lebih lanjut dengan mba Shahnaz Haque, seorang artis yang juga survivor kanker ovarium. Ada juga mas Mada Arya Nugraha, seorang financial planner, dan dr. Jeffry Beta Tenggara, ahli Onkologi dari RS Siloam Semanggi.

Dari mas Mada saya mendapat pencerahan tentang keuangan terutama yang berkaitan dengan produk asuransi. Ia mengingatkan bahwa jika sudah tahu punya turunan penyakit kritis ya memang sebaiknya kita memiliki proteksi yang bisa membantu kita bebas dari rasa khawatir soal ekonomi. Namun yang perlu diingat adalah pembayaran premi yang sesuai dengan kemampuan.

Tips dari mas Mada adalah daripada menekan-nekan pengeluaran yang sudah ada dan memang diperlukan, sebaiknya cari penghasilan tambahan untuk membayar premi. Hmm, ide bagus, nih, berarti saya harus nambah kerjaan satu artikel aja per bulan buat bayar premi. Semangat !

Sementara itu ada pandangan yang menarik dari dr Jeffry tentang pertanyaan saya soal penyakit turunan. Jadi saya bertanya sekaligus curhat pada dokter Jeffry, bahwa saya memiliki keturunan diabetes seperti yang saya ceritakan di atas. Kadang saya merasa hal tersebut tidak adil dan seperti kutukan. Bagaimana tidak, saya sudah berusaha hidup sehat, dll, tapi risikonya masih tetap lebih tinggi dibanding yang lain.

Tahu apa jawaban dr Jeffry?. Bahwa hal tersebut bisa menjadi sebuah berkah. Tak seperti yang lainnya, saya sudah diberitahu bahwa saya punya risiko sehingga saya bisa melakukan banyak hal untuk mencegahnya serta saya punya banyak kesempatan untuk memaksimalkan hidup saya sehingga penyakit kritis itu datang atau tidak, saya punya hidup yang berarti.

Duhh, bener juga ya kalau dipikir-pikir. Yang merasa aman-aman saja karena tidak punya penyakit keturunan jadinya ngga jaga gaya hidupnya, tiba-tiba sakit atau bahkan tiba-tiba meninggal. Sementara yang sudah tahu ia punya bakat suatu penyakit, ya nggak ada kata tiba-tiba. Intinya, sih, mau faktor keturunan atau tidak, menjaga gaya hidup sehat itu sangat penting.

Setiap ketemu Shahnaz selalu ketularan energi positifnya...

Last but not least, narasumber inspiratif  hari itu yang beneran bikin saya terkagum-kagum adalah Shahnaz Haque. Pengalamannya sebagai survivor penyakit kritis membuka mata saya dan para blogger yang hadir.

Ia bercerita bahwa ia dikelilingi keluarga yang dekat dengan penyakit kritis yaitu kanker. Ibunya meninggal karena kanker ovarium, neneknya pun meninggal akibat kanker. Tak hanya itu, ia pun menikah dengan Gilang yang orrangtuanya juga meninggal karena penyakit kanker. Nenek Gilang juga meninggal karena kanker.

Merinding saya dengarnya, diam-diam saya pun malu karena sempat curhat soal betapa sialnya saya yang keturunan diabetes. Apa kabar Shahnaz yang sudah keturunan kanker dan sudah mengalaminya pula?! duhhh...

Shahnaz didiagnosis terkena kanker ovarium pada tahun 1998 saat usianya baru 28 tahun. Ia sempat mendiamkannya dan menolak operasi namun akhirnya memutuskan untuk operasi sekitar dua tahun setelahnya.

Dengan adanya riwayat keluarga besar sebagai penderita kanker, ia pun berusaha untuk berdamai dengan diri sendiri. Pembicaraan tentang kanker pun menjadi sesuatu yang biasa yang diperbincangkan sambil makan malam bersama dengan suami dan ketiga puterinya. Prinsipnya pakai logika dan kurangi drama.

Sama dengan yang disampaikan dr Jeffry sebelumnya, Shahnaz pun, dengan mengetahui riwayat diri dan keluarganya, ia menjadi lebih siap untuk melawan penyakit kanker tersebut. Ia dan keluarga juga jadi bisa tahu jika ada yang tidak beres dan berusaha memerangi rasa takut dan menghadapinya dengan ikhlas.

Berlatar riwayat penyakit kritisnya, Shahnaz pun berkomitmen untuk menjalani pola hidup sehat dengan berolahraga dan tidak sembarangan memilih asupan makanan. Ia menjaga pola makan sehat dengan berhenti mengonsumsi daging merah, makanan cepat saji, makanan kalengan, serta mengurangi makanan yang dibakar.

Saya juga pernah membaca di media bahwa Shahnaz selalu menyempatkan diri untuk memasak sendiri makanannya dan keluarga. Ia juga selalu menyiapkan bekal untuk di bawa oleh ketiga anaknya.

Meski sudah dinyatakan sembuh, namun secara berkala, setiap 6 bulan, Shahnaz selalu memeriksakan dirinya.

Karena ini bukan kali pertama saya bertemu Shahnaz, saya bisa merasakan energi positifnya yang meluap-luap, menular pada setiap orang yang berada di sekelilingnya. Saya pun bertanya apa kiatnya untuk tetap positif dan ceria meski kisah hidupnya bak drama bagi kebanyakan orang.

Ternyata penerimaan dan keikhlasan bukanlah nasihat basi. Saat kita menerima dan ikhlas, lalu mencari jalan untuk menghadapinya, semua terasa lebih ringan. Shahnaz sedih saat ingat almarhum ibunya yang saat tahu terkena kanker menjadi sangat sedih dan menangis tiap hari sampai akhir usianya. Belajar dari pengalaman tersebut, Shahnaz berusaha menghadapinya dengan tenang, ceria, bahkan seringkali sambil bercanda.

Saya juga ingat kata-kata salah seorang penyintas kanker payudara yang saya temui di Bali. Ia bercerita bahwa 'patah hati' membuat beberapa temannya sesama penderita kanker makin parah keadaannya bahkan berujung pada kematian.

Duhh, usai acara bersama FWD Life kemarin mata saya sedikit sembab karena begitu banyak hal yang berkecamuk di dalam diri saya. Terimakasih banyak para narasumber, juga padas FWD Life dengan edukasinya yang powerful banget.

Terimakasih juga buat teman-teman yang sudah membaca artikel ini. Untuk info lebih lanjut silakan klik di sini, ya. Semoga bermanfaat, yaaa....

Bloggers berfoto dengan narsum


*********

0 comments