Yang saya pelajari saat si bungsu mogok sekolah

Yup, satu lagi masalah sebagai seorang mama, yaitu saat si kecil mogok sekolah. Saya pun sedang mengalaminya saat ini. Si bungsu yang berusia 4 tahun baru saja 'putus sekolah' dari play group tempat ia biasa menghabiskan beberapa hari sekolah setiap minggunya. 

si bungsu
Saya dan suami, dibantu oleh abang dan kaka sudah berusaha membujuknya untuk kembali ke sekolah, toh kami pikir di sana ia hanya perlu bermain dan bersosialisasi karena masih di taman bermain. Namun ia tetap menolak. Segala pendekatan sudah kami coba, terutama saya sebagai ibunya, saya tidak ingin kecolongan, saya tidak ingin ada hal-hal yang membuat anak saya takut apalagi trauma pergi ke sekolah. Jadi, jika ada alasan yang jelas mengapa ia tidak mau sekolah, kami pasti akan lebih tenang dan mengijinkan ia untuk tidak sekolah sambil berusaha mencarikan solusi terbaiknya.

Saya pun melakukan 'investigasi' dan menemukan 3 hal penting yang justru jadi pembelajaran penting buat saya dan suami sebagai orangtua dan saya harap juga bisa menjadi masukan bagi orangtua lainnya.

Teman sekelas yang 'mengganggu'
Ini sama sekali bukan bullying. Kenapa saya menggunakan tanda kutip di kata mengganggu? karena setelah saya amati, ternyata anak itu tidak berniat mengganggu si bungsu atau anak lainnya di kelas, namun perkembangannya (mungkin secara mental, saya tidak berani menghakimi, ini benar-benar opini pribadi saya sebagai orang awam) yang kurang dan tidak sesuai umurnya lah yang menyebabkan anak-anak lain terganggu terutama anak saya. Sederhananya begini, anak saya dan teman-teman sekelasnya kurang lebih berumur sama, sekitar 3,5 sampai 4 tahun, termasuk si anak ini. 

Mayoritas dari mereka bertingkah dan berperilaku sesuai dengan umurnya, namun ada satu anak yang menurut saya bertingkah seperti anak, let say, umur 2,5 tahun. Dari mulai perilaku sampai tingkat kemandiriannya. Nah?!, yang terjadi adalah, anak saya merasa capek harus terus mengalah terhadap anak ini. Misalnya saat sedang bermain bersama, anak ini lebih sering merebut, memukul (tidak keras kalau menurut pengakuan Sabil), menangis, meraung-raung, dst, yang sampai melibatkan babysitter si anak tersebut. Para guru merasa sedikit kewalahan, lalu memanggil babysitter untuk masuk dan membantu. Tentu saja jika berlangsung setiap hari hal ini akan mengganggu proses belajar mengajar di kelas, kan?. 

Apalagi ternyata, dari hasil ngobrol dari hati ke hati dengan si bungsu, saya bisa mengerti kegalauan hatinya tentang masalah ini. Jadi karena anak saya adalah anak yang dianggap anteng, pendiam, dan nrimo (saya mengganggapnya sebagai anak yang cinta damai, hehehe) ia selalu dipasangkan dengan anak tersebut di setiap kegiatan karena kebanyakan anak yang lain menolak bahkan bertengkar jika dipasangkan dengan anak itu.

"Dia nggak jahat, sih, ma, tapi dia kasar dan sering rebut mainan aku. Sering nangis-nangis nggak jelas gitu, pokoknya kayak anak kecil banget, deh" ujarnya suatu ketika, membuat saya menahan senyum mendengar kalimat terakhirnya itu. Lalu abang, yang kebetulan mendengar, nyeletuk dengan nada bercanda, "rebut lagi aja, Bil, kan itu punya kamu." Tanpa diduga, si bungsu menjawab, "nggak ah, bang, kasian, nanti dia nangis lagi." Ternyata si bungsu merasa kasihan dengan si anak ini karena terlalu sering menangis, meraung-raung pula, dan dia enggan membuat dua orang miss-nya serta si mbak babysitter keteteran dengan ulah si anak. Duhhh, di satu sisi saya bangga dengan sikap sabar dan pengalahnya, namun di sisi lain saya tidak ingin anak saya kecil-kecil sudah terlalu banyak menahan perasaan dan terbukti kan akhirnya ia tidak kuat dan memilih untuk berhenti sekolah?.

Sebagai catatan, saya sama sekali tidak menyalahkan anak tersebut, namun saya menyayangkan kebijakan sekolah, terutama para guru yang sangat tahu situasinya, yang harusnya mencari solusi yang terbaik agar anak-anak lainnya juga tetap mendapatkan haknya yaitu proses belajar yang normal dan minim gangguan.

gbr dari Bing

Perasaan kurang 'terlindungi' saat berada di sekolah
Lagi-lagi saya menggunakan tanda kutip karena penilaian ini sangat subjektif. Saya tidak ingin terlalu mudah menuduh dan menyalahkan orang lain, jadi sekali lagi, mohon digaris bawahi bahwa ini adalah murni opini saya.

Saat anak saya mulai enggan pergi ke sekolah, saya sudah mulai menawarkan beragam solusi padanya, dan yang paling sering ia minta adalah saya harus ikut menemaninya bahkan sesekali sampai masuk ke kelas, padahal sebelumnya ia tidak seperti itu. Tentu saja saya serta guru tidak mengabulkan permintaannya. Kalau saya menunggu di luar kelas masih oke, tapi kalau sampai masuk ke dalam kelas, saya tidak mau, guru pun tidak mengijinkan.

Dari pengalaman di atas, saya menangkap bahwa anak saya merasa terlindungi saat saya berada di sekitar sekolah. Pertama, karena miss-nya tidak akan berani memaksa saat ia tidak mau dipasangkan dengan si anak tersebut. Ke dua, si anak tersebut, saat tahu bahwa di luar ada saya, ia juga menjadi sedikit lebih behave, tidak terlalu banyak melakukan hal-hal yang merugikan si bungsu. Ke tiga, saat ada apa-apa, misalnya mainannya direbut dengan kasar, atau sampai ada kontak fisik, guru-guru lebih cepat melerai dan lebih terlihat bersikap tegas pada anak tersebut yang tentu saja membuat Sabil merasa lebih lega.

Intinya, di sekolah Sabil merasa dilindungi secara fisik, namun tidak secara psikis, itulah mengapa ia akhirnya ia meminta saya untuk sering berada di sekitar sekolah. Padahal saat berada di sekolahnya pun saya tidak berada di dekat kelasnya, saya lebih sering nongkrong dan makan bakso di dekat sekolah, namun ia tetap merasa aman.

gbr dari Bing

Image yang kurang menyenangkan tentang sekolah
Khusus untuk yang terakhir ini, saya mengakui bahwa ini sepenuhnya kesalahan saya. Saya lupa bahwa balita saya ternyata sudah mampu menangkap semua perbincangan orang dewasa dan kakak-kakaknya serta bahasa tubuh dan emosi kami semua. 

Karena abang sudah masuk SMP tahun ini, saya bersikap lebih tegas padanya, dengan lebih sering mengingatkan dia untuk belajar, mengerjakan PR, dll. Saya pun terkadang turun langsung mengajarinya saat ia kesulitan. Tujuan saya tentu demi kebaikan abang karena SMP tempat ia belajar adalah SMP favorit se-kota Depok dan saya hanya ingin ia bisa berprestasi dengan baik, itu saja. Begitu juga kaka yang sudah kelas 5 SD yang masih sangat hobi main sampai menjelang Maghrib, saya mengingatkan gadis pra-remaja saya itu untuk mengurangi waktu mainnya karena sebentar lagi dia akan naik kelas enam dan saya tidak ingin ia keteteran saat ujian nasional kelak.

Menurut saya apa yang saya lakukan adalah hal yang wajar, hingga suatu saat Sabil berujar, "aku nggak mau sekolah kayak abang dan kakak, nanti aku nggak bisa main lagi." Ya Allah, saya merasa tertampar bolak-balik. Ternyata tanpa saya sadari, saya sudah berperan dalam 'ketakutannya' terhadap sekolah. Image dia tentang sekolah adalah suatu tempat yang tidak menyenangkan di mana ia akan kehilangan haknya untuk bermain. Aduuuhhh, harus segera saya luruskan, nih!.

Ia kini lebih enjoy belajar dan bermain di rumah
Apa yang terjadi sekarang?. Saya sudah pelan-pelan menjelaskan bahwa abang dan kakak sudah besar dan mereka punya tanggung jawab yang berbeda dengan dirinya yang masih kecil. Saya juga menjelaskan dan memberi contoh bahwa meski pun abang dan kakak sudah besar dan sibuk sekolah tapi mereka tetap punya waktu khusus untuk bermain dan melakukan hobi mereka seperti sepak bola, tari Saman, taekwondo, dan main game di PC dan tablet

Dua bulan terakhir ini, pun, saya dan suami memutuskan untuk membiarkan Sabil tidak bersekolah secara formal. Kami tidak ingin membuatnya trauma soal sekolah dan kami ingin menunggu ia siap sambil terus memberi penjelasan, contoh, serta mengajarinya banyak hal di rumah, dengan cara yang fun tentunya karena kebanyakan ia belajar lewat mainan seperti puzzle, lego, dll. Alhamdulillah hasilnya sudah sangat terlihat. Kini ia bisa lebih disiplin, tidak menolak diajari, bahkan seringkali berinisiatif untuk minta sesi belajar bersama saya atau kakaknya.

Beberapa lama ke depan, saya pun akan lebih sering posting pengalaman saya belajar bersamanya, mulai dari belajar membaca dengan metode Glenn Doman, sampai membuat prakarya ala Mr. Maker kesukaannya.

Doakan saya sukses dengan semua ini, ya! :)

8 comments

  1. Sabiiiilll,tante gemes baca tulisan "kayak anak kecil banget".
    Tapi untung Zata cepat tanggap ya sama masalah yang dialami Sabil. Mudah-mudahan ngga lama lagi Sabil mau "main" disekolah lagi yaa..

    BalasHapus
  2. Dulu pas awal2 masuk TK A Ashwin juga sempat mogok sekolah (pernah posting di blog juga). Sempat bingung juga dan aq selidiki apa sih sebenarnya yg buat dia takut. Ternyata dia agak takut sama Pak Guru Menggambarnya, karena waktu Palygroup dulu yg ngajar cuma Bunda saja alias guru cewek walaupun di sekolah yg sama. Tapi setelah aq kasi pengertian kalo kita ga perlu takut sama Pak Guru krn dia juga seperti bapak kita sendiri yg tentunya aq jelaskan dgn bahasa anak2 ya yg bisa dia ngerti. Untungnya setelah dijelaskan dan aku selalu kasi semangat dia kalo dia pasti bisa pasti berani, aq suruh dia liatin ke Pak Gurunya kalo di bisa gambar ini, ini, ini hehe... Akhirnya dia sampai sekarang akrab terus malah udah ga pernah takut lagi. Semoga seterusnya ya.. Memang agak susah menghadapi anak2 umur segitu ya, kadang harus sesuai dengan mood mereka juga. Kita yg harus lebih sabar menghadapi mereka biar ga salah langkah :)

    BalasHapus
  3. @ndiievania: iya cin, mudah2an dia mau sekolah lagi ntar2 ya..

    @ayu: iya Yu, itu tantangannya kalo ngadepin balita ya :)

    BalasHapus
  4. Aku nyimakkk.. Blm punya pengalaman soalnya hehehe

    BalasHapus
  5. mudah2an sih nggak sampe mogok ya Ye.. :)

    BalasHapus
  6. duh.., semoga setelah ditungguin mamanya dia rajin sekolah lagi ya nif...

    BalasHapus
  7. amin...
    ternyata hampir semua anak pernah mogok ya. makasih sharingnya :)

    BalasHapus